Berau — Kelompok Tani Usaha Maju (Poktan) dari Desa Tumbit Melayu, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, mengambil langkah tegas dalam sengketa lahan dengan PT Berau Coal. Mereka memasang baliho besar di pinggir jalur hauling perusahaan tersebut, mengumumkan rencana penutupan lahan mereka pada 3 November 2024 jika hak pembayaran lahan seluas 1.290 hektar milik kelompok tani ini tidak dipenuhi. Baliho tersebut dipasang sebagai bentuk kekecewaan Poktan setelah PT Berau Coal mangkir dari sidang pertama di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, Rabu (30/10/2024).
Tuntutan Tegas Kelompok Tani dan Rencana Penutupan Jalur Hauling
Baliho yang dipasang Poktan Usaha Maju menegaskan hak mereka atas lahan yang digunakan PT Berau Coal sebagai jalur hauling, namun belum dibebaskan oleh perusahaan. Hal ini memicu keresahan warga yang merasa dirugikan oleh perusahaan tersebut, khususnya setelah absen dari sidang pertama di pengadilan. Mereka menduga PT Berau Coal sengaja mengulur waktu untuk memperpanjang kerugian masyarakat, sehingga memutuskan langkah tegas dengan pemasangan baliho dan ancaman menutup jalur hauling.
“Kami kecewa PT Berau Coal tidak hadir di persidangan, seakan mereka tidak mengindahkan hak-hak kami sebagai pemilik lahan. Baliho ini adalah peringatan serius bahwa jalur hauling akan kami tutup jika lahan kami tak dibayar,” ungkap M. Rafik, Koordinator Lapangan Kelompok Tani.
Adu Argumen dengan Security Perusahaan Saat Pemasangan Baliho
Proses pemasangan baliho ini sempat diwarnai ketegangan ketika security PT Berau Coal berusaha menghalangi aksi Poktan di area hauling. M. Rafik yang mewakili kelompok tani tetap teguh pada pendiriannya dengan menunjukkan data kepemilikan lahan. Menurut Rafik, pemasangan baliho ini adalah hak kelompok tani yang memiliki dokumen legal kepemilikan lahan dan meminta agar pihak perusahaan menghormati hak tersebut.
“Security perusahaan mengatakan ini perintah pimpinan mereka untuk melarang pemasangan baliho. Namun, kami tegaskan bahwa kami berada di atas lahan kami sendiri dan punya bukti kepemilikan yang sah. Kami bahkan meminta pimpinan mereka datang ke lokasi, tetapi mereka tidak datang,” ujar Rafik.
M. Hafidz Halim, anggota tim hukum BASA Law Firm yang mendampingi Poktan, turut menegaskan bahwa pemasangan baliho adalah hak sah kelompok tani. Ia menekankan bahwa PT Berau Coal tidak berhak melarang masyarakat memasang baliho di lahan yang mereka miliki, terlebih ketika status hukum lahan tersebut masih berproses di pengadilan.
Sengketa yang Memanas: Klaim Poktan atas Lahan dan Tantangan Hukum yang Dihadapi
Sengketa antara PT Berau Coal dan Poktan Usaha Maju telah lama berlangsung. Warga desa merasa dirugikan karena lahan mereka dipakai tanpa pembebasan yang sah. Halim mengungkapkan bahwa permasalahan ini kerap dikaitkan dengan upaya kriminalisasi warga dengan menggunakan Pasal 162 UU Minerba yang mengatur larangan merintangi usaha pertambangan.
“Dulu, ada warga Poktan yang sempat dikriminalisasi dengan Pasal 162, tetapi pasal itu sudah pernah menjadi yurisprudensi karena dinyatakan mengandung frasa majemuk yang bertentangan dengan hierarki hukum UUD 1945. Kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi,” tegas Halim.
Halim juga menyoroti adanya hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Provinsi Kalimantan Timur yang mendesak PT Berau Coal untuk segera mengganti kerugian lahan Poktan. Hal ini, menurutnya, menegaskan bahwa lahan tersebut memang merupakan milik kelompok tani yang belum dibayar, dan perusahaan perlu segera menunaikan kewajiban mereka kepada warga.
Kuasa Hukum: Hormati Proses Hukum, PT Berau Coal Harus Taat Aturan
Yudhi Tubagus Naharuddin, anggota tim hukum BASA Law Firm yang mendampingi Poktan Usaha Maju, turut mendesak PT Berau Coal untuk menghormati proses hukum yang tengah berjalan di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb. Yudhi menegaskan bahwa Poktan telah mengikuti semua prosedur hukum, dan sudah sepatutnya pihak perusahaan tidak menghambat tindakan sah warga di atas lahan mereka.
“Kami, sebagai tim kuasa hukum, meminta PT Berau Coal agar menghormati proses hukum yang berjalan. Baliho itu dipasang di atas tanah milik warga, dan jika perusahaan merasa ada pelanggaran, silakan menempuh jalur hukum, bukan dengan menghalangi pemasangan baliho. Warga telah mematuhi aturan, dan seharusnya PT Berau Coal juga malu jika tidak taat hukum,” ujar Yudhi.
Yudhi menegaskan bahwa upaya kelompok tani ini bukan semata untuk memperjuangkan hak pribadi, tetapi untuk menegaskan kedaulatan warga atas lahan mereka yang sah menurut hukum. Menurutnya, masyarakat berhak melakukan tindakan yang sesuai dengan hukum untuk mempertahankan hak atas tanah mereka, terlebih karena proses pengadilan telah dimulai.
Ultimatum Penutupan Jalur Hauling sebagai Bentuk Perlawanan Warga
Poktan Usaha Maju tidak main-main dengan ancaman mereka. Pemasangan baliho ini hanyalah langkah awal jika PT Berau Coal tetap tidak menanggapi tuntutan mereka. Warga menyatakan akan menutup akses hauling perusahaan di atas lahan mereka sebagai bentuk perlawanan atas pengabaian hak-hak yang mereka miliki.
“Kami akan tutup jalur hauling ini jika pada tanggal 3 November tidak ada kepastian pembayaran dari PT Berau Coal. Kami warga biasa, tetapi kami punya hak dan taat hukum. Kami akan terus berjuang,” tegas Rafik.
