Anak adalah generasi penerus bangsa. Kalimat itu sering kita dengar dalam pidato pejabat, kutipan motivasi, hingga kampanye politik. Namun kenyataan di lapangan justru memperlihatkan wajah muram. Di Kalimantan Timur, kasus kekerasan terhadap anak terus bermunculan. Mulai dari seorang ayah yang diduga tega menghabisi dua anak kandungnya, hingga kasus delapan santri yang diduga dicabuli oleh tenaga pengajar di sebuah pesantren. Peristiwa ini membuat publik bertanya: apakah regulasi yang sudah ada benar-benar mampu melindungi anak?
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan tegas menyebutkan bahwa anak adalah individu di bawah usia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Undang-undang ini juga mendefinisikan kekerasan sebagai perbuatan yang menimbulkan penderitaan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran. Namun, meski perlindungan hukum sudah jelas, anak-anak korban sering kali memilih untuk diam. Ketakutan, rasa malu, hingga stigma sosial membuat mereka enggan melaporkan apa yang dialami.
Kasus di Tenggarong menjadi cermin nyata. Delapan santri diduga mendapatkan perlakuan tidak pantas dari pengajarnya. Namun, mereka bungkam. Rasa takut terhadap otoritas guru, kekhawatiran dianggap membawa aib, serta minimnya saluran pelaporan yang aman membuat suara mereka teredam. Inilah titik lemah perlindungan anak di Indonesia: regulasi ada, tetapi keberanian korban tidak tumbuh karena sistem perlindungan belum benar-benar ramah anak.
Jika ditelaah lebih jauh, masalah ini bukan hanya soal hukum, melainkan juga menyangkut dimensi psikologis dan sosial. Seorang anak yang menjadi korban kekerasan mengalami trauma mendalam. Mereka merasa dirinya kotor, malu, dan bersalah, padahal yang bersalah adalah pelaku. Lingkungan sekitar sering menambah beban dengan stigma negatif. Alih-alih memberikan dukungan, masyarakat justru menyudutkan keluarga korban. Akibatnya, korban semakin memilih diam, dan pelaku punya ruang bebas untuk mengulangi perbuatannya.
Indonesia sesungguhnya memiliki perangkat hukum yang cukup lengkap. Selain UU Perlindungan Anak, ada pula UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang lahir pada 2022, serta UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Semua mengatur hak anak korban untuk mendapatkan rehabilitasi fisik maupun psikologis, pendampingan hukum, kerahasiaan identitas, hingga jaminan keamanan dari ancaman. Namun, hukum yang baik hanya akan menjadi teks mati jika tidak dijalankan dengan konsisten.
Fakta di lapangan justru memperlihatkan lemahnya implementasi. Banyak anak korban tidak tahu harus melapor ke mana. Aparat penegak hukum tidak selalu ramah terhadap anak. Kasus-kasus di daerah sering berhenti karena minimnya bukti, sementara keterangan anak korban tidak dianggap cukup kuat. Di sisi lain, fasilitas rehabilitasi masih terbatas, dan rumah aman (safe house) yang seharusnya melindungi anak korban, jumlahnya sangat sedikit.
Secara ekonomi, persoalan ini juga tidak bisa dipisahkan. Banyak korban berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka kesulitan membiayai proses hukum, apalagi pemulihan psikologis yang membutuhkan waktu panjang. Negara memang menjanjikan bantuan sosial dan rehabilitasi, tetapi distribusinya sering lambat atau tidak tepat sasaran. Akhirnya, keluarga korban memilih untuk menutup rapat kasus yang terjadi, karena merasa berjuang sendirian menghadapi situasi berat.
Dari sisi budaya, masyarakat Indonesia masih menganggap kekerasan seksual sebagai aib. Alih-alih melihat korban sebagai pihak yang perlu dilindungi, justru mereka sering diperlakukan seolah membawa malu. Narasi ini menjerat anak korban dalam kebisuan. Di pesantren, sekolah, maupun lingkungan rumah, relasi kuasa membuat mereka tidak berani melawan. Guru, ustaz, bahkan orang tua bisa menjadi pelaku, dan posisi anak terlalu lemah untuk bersuara.
Kondisi ini jelas menunjukkan perlunya terobosan nyata. Regulasi yang sudah ada harus diturunkan ke dalam kebijakan dan praktik konkret yang berpihak pada korban. Beberapa langkah strategis bisa dilakukan. Pertama, pembentukan saluran aman pelaporan (safe reporting channel). Hotline, aplikasi, atau posko layanan khusus anak harus tersedia dengan jaminan kerahasiaan identitas. Tenaga terlatih di bidang psikologi anak dan hukum perlu dilibatkan, agar korban merasa aman dan percaya.
Kedua, penguatan rumah aman bagi anak korban. Pemerintah daerah bersama kementerian terkait dan LPSK harus menyiapkan fasilitas perlindungan dengan layanan komprehensif. Rumah aman bukan sekadar tempat berlindung, tetapi juga pusat pemulihan psikososial, hukum, dan pendidikan. Anak korban harus tetap bisa belajar tanpa stigma.
Ketiga, kolaborasi lintas pihak. Aparat penegak hukum, pemerintah daerah, sekolah, pesantren, lembaga masyarakat sipil, hingga tokoh agama harus bekerja sama membangun sistem perlindungan yang terpadu. Kekerasan terhadap anak tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Butuh sinergi dan tanggung jawab bersama.
Keempat, pengawasan ketat. DPRD Kaltim, Komnas Perlindungan Anak, hingga lembaga independen perlu memastikan bahwa aturan perlindungan anak benar-benar dijalankan. Tanpa pengawasan, regulasi hanya berhenti pada aspek normatif.
Selain itu, media juga memegang peran penting. UU TPKS Pasal 69 menegaskan bahwa identitas korban harus dijaga kerahasiaannya. Sayangnya, masih banyak media yang secara tidak sadar mengekspos informasi yang bisa melacak identitas anak. Etika pemberitaan yang ramah anak perlu ditegakkan, agar korban tidak semakin trauma.
Pada akhirnya, perlindungan anak bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan juga amanat moral dan sosial. Setiap orang punya peran untuk menjaga lingkungan agar lebih peka dan peduli. Masyarakat harus berhenti menyalahkan korban, dan mulai membangun budaya melindungi. Anak adalah masa depan bangsa. Jika mereka terus menjadi korban tanpa perlindungan nyata, maka masa depan negeri ini pun ikut terancam.
Kita tidak boleh lupa, kasus-kasus di Kaltim hanyalah puncak gunung es. Masih banyak anak korban kekerasan yang memilih diam, tidak terdeteksi, dan tidak pernah mendapatkan keadilan. Mereka tersembunyi di balik dinding rumah, sekolah, atau pesantren, membawa luka yang mungkin tidak pernah sembuh. Negara tidak boleh abai. Regulasi sudah ada, tetapi implementasi yang lemah membuat anak-anak terus menderita.
Sudah saatnya negara hadir lebih konkret. Perlindungan anak harus diwujudkan bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam tindakan nyata yang melibatkan semua pihak. Lembaga bantuan hukum seperti Pendampingan Perempuan dan Anak Bina Aisyah Kaltim telah membuka saluran aman melalui WhatsApp 082155351866. Inisiatif semacam ini harus didukung, diperluas, dan diperkuat agar korban tidak merasa sendirian.
Kesimpulannya, perlindungan anak di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Hambatan psikologis, stigma sosial, lemahnya sistem pelaporan, dan terbatasnya fasilitas perlindungan membuat korban lebih memilih diam. Jika kita ingin anak-anak tumbuh sebagai generasi penerus bangsa yang sehat, berdaya, dan berani bersuara, maka perlindungan nyata harus segera diwujudkan. Negara, masyarakat, dan keluarga wajib bergandengan tangan memastikan anak-anak hidup dalam lingkungan aman, bebas dari kekerasan, serta memiliki masa depan yang layak.
Penulis: Siti Fatimah, S.H. (Pengacara | Praktisi Pemerhati kekerasan terhadap perempuan & anak (LPPA Bina Aisyah)).
