Dengan tajam, penjemputan paksa ini membuka wajah kelam tata kelola tambang. Dalam satu video singkat berdurasi tak lebih dari dua menit, masyarakat menyaksikan seorang tersangka kasus dugaan korupsi izin usaha pertambangan (IUP), Rudy Ong Chandra (ROC), merangkak dan menutupi wajahnya saat digiring masuk ke Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adegan tersebut segera viral. Namun di balik sorotan kamera dan perbincangan di media sosial, peristiwa ini menyimpan refleksi mendalam atas wajah penegakan hukum, ketimpangan kekuasaan, dan krisis integritas dalam pengelolaan sektor sumber daya alam Indonesia.
Penjemputan paksa yang dilakukan KPK terhadap ROC bukanlah tindakan mendadak tanpa dasar. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, tindakan itu sah bila memenuhi syarat sesuai hukum acara. Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbarui lewat UU Nomor 19 Tahun 2019 memberi KPK kewenangan untuk melakukan penjemputan paksa terhadap pihak yang tidak memenuhi panggilan tanpa alasan sah. Dalam kasus ROC, ia dua kali tidak hadir tanpa keterangan, bahkan sempat diduga bersembunyi.
Dari sisi legal formal, langkah KPK tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga perlu dilihat sebagai upaya penegasan bahwa hukum tidak dapat diabaikan oleh siapa pun, termasuk pelaku bisnis besar. Praktik penjemputan paksa ini sekaligus menjadi pesan bahwa penegakan hukum tidak boleh tunduk pada kekuatan ekonomi atau kekuasaan jaringan sosial-politik.
Namun demikian, peristiwa viral tersebut menyisakan perdebatan etis. Meskipun ROC diduga terlibat dalam kasus korupsi, ia tetap memiliki hak untuk dihormati sebagai tersangka yang belum divonis bersalah. Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah jantung keadilan dalam sistem peradilan pidana. Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa siapa pun yang disangka atau dituntut wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Sayangnya, opini publik dan pemberitaan media kerap mengesampingkan prinsip ini. Adegan ROC merangkak menjadi hiburan publik yang menyudutkan martabat tersangka. Padahal, perlakuan terhadap tersangka harus tetap mengedepankan prinsip penghormatan atas hak asasi manusia, terlepas dari dosa yang didugakan. Dalam hal ini, media massa dan media sosial memiliki tanggung jawab etis untuk tidak menjadi alat penghukuman sosial sebelum pengadilan melaksanakan fungsinya.
Namun, jauh lebih penting dari perdebatan etis tersebut adalah substansi kasus yang sedang diusut. ROC diduga memberikan uang sebesar Rp3,5 miliar dalam pecahan dolar Singapura kepada Dayang Donna Walfiaries Tania (DDWT), Ketua Kadin Kalimantan Timur sekaligus anak dari almarhum mantan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Uang tersebut diberikan untuk memuluskan perpanjangan enam IUP tambang milik perusahaannya. Selain ROC dan DDWT, KPK juga menetapkan almarhum Awang Faroek sebagai pihak yang ikut disebut dalam pengembangan perkara.
Sektor tambang bukan hanya penghasil devisa. Ia adalah tulang punggung ekonomi daerah, tetapi sekaligus juga menjadi sarang korupsi struktural yang telah lama merusak tatanan tata kelola sumber daya alam. Kalimantan Timur adalah contoh gamblang dari paradoks tersebut. Kaya akan batubara, namun masyarakat lokalnya tidak selalu menikmati kesejahteraan yang proporsional. Di balik kekayaan itu, praktik kolusi antara pengusaha dan pejabat publik dalam penerbitan izin kerap menjadi rahasia umum.
Menurut data EITI (Extractive Industries Transparency Initiative), lebih dari 30 persen izin tambang di Indonesia dikeluarkan secara tidak transparan, dan banyak yang tumpang tindih satu sama lain. Dalam kasus ROC, pola pemberian suap untuk mendapatkan perpanjangan izin adalah cerminan dari disfungsi sistem perizinan yang sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa korupsi IUP nyaris tak pernah terjadi dalam ruang hampa. Ia melibatkan dua aktor utama: pemilik modal yang membutuhkan izin, dan pejabat publik yang memiliki otoritas menerbitkannya. Dengan demikian, praktik seperti ini masuk dalam kategori delik penyertaan atau “deelneming” sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Bila ROC terbukti melakukan penyuapan dan DDWT serta pihak pejabat menerima suap, maka jaringan tindak pidana ini bisa meluas ke ranah penyelenggara negara yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, KPK juga mengungkap bahwa transaksi dilakukan secara berkala, terstruktur, dan menggunakan kode-kode tertentu untuk menghindari deteksi aparat. Ini menandakan adanya pola sistemik yang tidak bisa hanya ditangani dengan penegakan hukum kasus per kasus. Perlu ada reformasi mendalam terhadap tata kelola pertambangan, terutama dari aspek pemberian izin dan pengawasan pelaksanaannya.
Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah membenahi sistem informasi perizinan tambang. Pemerintah perlu membangun dan mengintegrasikan sistem digitalisasi IUP secara nasional yang bisa diakses publik. Ini tidak hanya akan mempercepat proses perizinan, tetapi juga memungkinkan pengawasan publik terhadap siapa yang mendapatkan izin, berapa luasnya, dan bagaimana pelaksanaan kewajiban lingkungannya.
Langkah kedua adalah pembentukan badan pengawasan independen lintas sektor yang fokus memantau praktik-praktik koruptif dalam sektor sumber daya alam. Selama ini, fungsi pengawasan tersebar di berbagai instansi dan kerap tumpang tindih. Padahal, sektor tambang membutuhkan satu lembaga kuat dengan otoritas penuh untuk melakukan audit, investigasi, dan rekomendasi sanksi terhadap pelanggaran administrasi dan pidana.
Langkah ketiga adalah reformasi politik lokal. Tidak sedikit kepala daerah yang menggunakan kewenangan dalam menerbitkan izin tambang untuk kepentingan politik, baik untuk modal kampanye maupun konsolidasi kekuasaan. Kasus seperti ini mengindikasikan bahwa pemilihan kepala daerah sering menjadi titik masuk bagi korupsi sektor tambang. Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan regulasi dalam hal transparansi kampanye, audit pembiayaan politik, dan pembatasan konflik kepentingan pejabat publik.
Tentu saja, semua itu hanya mungkin terjadi bila ada kemauan politik dari pemerintah pusat. Presiden terpilih dan kabinet mendatang harus menempatkan tata kelola sumber daya alam sebagai prioritas kebijakan nasional. KPK, meski sering dihadang pelemahan, tetap perlu didukung agar dapat menjalankan fungsinya secara independen. Dan tentu, masyarakat sipil harus tetap kritis, mengawal kasus seperti ini agar tidak berujung pada kompromi atau penyelesaian yang merugikan kepentingan publik.
Pada akhirnya, penjemputan paksa ROC adalah simbol dari pertarungan panjang antara kekuasaan uang dan supremasi hukum. Ia menunjukkan bahwa penindakan bisa dilakukan meski terhadap aktor bisnis kuat. Namun perjuangan tidak berhenti di situ. Negara harus bergerak lebih jauh—mengoreksi akar kelemahan sistemik, membongkar jaringan korupsi yang kompleks, dan memastikan keadilan tidak hanya ditegakkan, tapi juga dirasakan oleh masyarakat luas.
Jika kasus ini diselesaikan secara transparan dan tuntas, maka akan menjadi preseden penting bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia. Kita bukan hanya menghukum satu orang atau satu kelompok, melainkan memperbaiki satu sistem yang terlalu lama dibiarkan rusak. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan pulih, dan kita benar-benar bisa mengatakan bahwa tidak ada yang kebal hukum—termasuk di sektor tambang.
