Di tengah gelombang industri musik digital, muncul kembali perdebatan klasik: siapa yang berhak menarik royalti atas lagu yang dipakai secara komersial? Pertanyaan ini bukan sekadar teknis, tapi menyentuh jantung dari hak-hak ekonomi pencipta lagu. Dalam kerangka hukum Indonesia, jawabannya sebenarnya sudah sangat jelas: bukan pencipta secara langsung, tapi melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa setiap pemanfaatan karya musik yang bersifat komersial wajib membayar royalti melalui LMK, bukan kepada pencipta secara langsung. Ketentuan ini bukan tanpa alasan. Dalam Pasal 1 angka 22 UUHC, disebutkan bahwa LMK adalah organisasi yang diberi mandat oleh pencipta untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Ini bukan pilihan, tapi sistem yang ditetapkan untuk efisiensi, transparansi, dan kepastian hukum.
Namun, tidak sedikit pencipta atau bahkan pelaku industri musik yang masih salah kaprah. Mereka menganggap sah-sah saja jika seorang pencipta menagih langsung kepada penyanyi atau promotor acara. Logika yang digunakan biasanya adalah “ini karya saya, saya berhak menagihnya”. Sayangnya, logika tersebut tidak sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku dan justru menimbulkan potensi konflik serta ketidakpastian hukum di industri musik itu sendiri.
Bayangkan jika setiap pencipta menagih langsung ke pengguna lagu mereka. Akan muncul kekacauan administratif yang luar biasa. Seorang promotor konser bisa saja menghadapi tuntutan dari puluhan pencipta secara bersamaan, dan masing-masing punya klaim yang berbeda. Tanpa ada satu pintu pengelolaan seperti LMK, sistem ini akan rusak sejak awal.
Keberadaan LMK menjadi sangat krusial. Contohnya, Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI) yang selama ini menghimpun royalti untuk kategori musik. LMK ini bekerja dengan mengandalkan data pemutaran, laporan pertunjukan, hingga sistem digital tracking agar royalti bisa dibagi secara adil. Pencipta yang bergabung pun bisa menikmati transparansi pembagian, dengan data yang bisa diverifikasi.
Di atas LMK, ada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang mengatur koordinasi antar-LMK, serta menetapkan kebijakan dan pengawasan atas distribusi royalti. LMKN menjadi semacam “hakim” netral yang menjaga agar tidak terjadi benturan antar pencipta atau antar LMK. Dalam sistem seperti ini, pemerintah pun dilibatkan secara struktural untuk menjamin keberlangsungan dan akuntabilitasnya.
Meski sistem sudah tersedia, edukasi tentang mekanisme ini masih sangat kurang. Banyak pencipta—terutama dari generasi muda—tidak memahami pentingnya mendaftarkan karya mereka ke LMK. Mereka lebih sibuk mengejar eksistensi di media sosial, alih-alih memastikan hak ekonominya dilindungi secara hukum. Di sisi lain, sebagian pengguna lagu juga tak paham bahwa membayar royalti langsung ke pencipta bukan saja tidak sah, tetapi juga menyalahi sistem.
Kritik terhadap transparansi LMK memang tetap perlu dikemukakan. Beberapa laporan menyebutkan royalti yang diterima pencipta kadang tak sebanding dengan eksposur lagu mereka. Ini menunjukkan perlunya penguatan akuntabilitas dalam tubuh LMK itu sendiri. Sistem pelaporan, audit independen, dan digitalisasi proses distribusi royalti adalah langkah penting untuk memperbaiki kondisi ini.
Tentu, sistem royalti juga menyentuh aspek sosial dan budaya. Di Indonesia, budaya “menghargai karya” masih belum sepenuhnya meresap. Banyak yang menganggap bahwa menggunakan lagu di media sosial atau acara publik bisa dilakukan bebas, selama “niatnya baik”. Padahal, niat baik tidak membebaskan dari kewajiban hukum. Prinsip hukum tetap berlaku: setiap penggunaan karya orang lain, apalagi untuk keuntungan, wajib dihargai secara ekonomis.
Secara ekonomi, royalti adalah sumber penghidupan bagi para pencipta. Mereka mungkin tidak tampil di panggung atau layar, tapi karya merekalah yang dinikmati jutaan orang. Tanpa sistem royalti yang tertib, ekosistem musik Indonesia hanya akan menguntungkan pengguna dan pelaku komersial, bukan penciptanya. Dalam jangka panjang, ini akan mematikan kreativitas karena pencipta kehilangan insentif untuk terus berkarya.
Pemerintah harus lebih aktif melakukan sosialisasi UU Hak Cipta ini, terutama kepada pelaku industri musik independen dan generasi muda. Edukasi tentang pentingnya mendaftarkan karya ke LMK, serta mekanisme pembayaran royalti secara sah, harus ditanamkan sejak dini di sekolah seni dan kampus musik. Di sisi lain, pelaku industri juga harus disanksi tegas bila terbukti mengabaikan kewajiban membayar royalti.
Sebagai negara dengan kekayaan budaya musik yang luar biasa, Indonesia harus punya sistem perlindungan karya yang kuat dan adil. LMK dan LMKN bukan hanya perangkat hukum, tapi jembatan keadilan antara pencipta dan pengguna. Jika sistem ini diperkuat, semua pihak akan mendapat manfaat secara seimbang.
Kesadaran hukum harus dibangun dari akar. Pencipta harus sadar bahwa bergabung ke LMK bukan membatasi hak mereka, melainkan memperkuat posisi tawar. Pengguna juga harus memahami bahwa membayar royalti bukan beban, tapi bentuk penghormatan. Sementara itu, pemerintah dan publik harus terus mendorong agar sistem ini berjalan transparan dan akuntabel.
Menghormati karya musik bukan hanya soal selera, tapi juga keberpihakan pada keadilan. Tanpa sistem royalti yang sah dan terorganisasi, kita hanya memupuk industri yang timpang dan eksploitatif. Lagu yang kita nikmati hari ini harus dibayar dengan penghargaan yang setara, bukan sekadar tepuk tangan.
Oleh: Muhammad Iqbal, S.H., M.H.
Advokat dan Konsultan Hukum Kekayaan Intelektual – MIQ Law Firm
