Sangatta – Mantan Wakil Ketua DPD RI, Dr. H. Mahyudin, S.T., M.M., angkat bicara terkait perdebatan mengenai batas wilayah antara Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang yang kembali mencuat. Ditemui usai menghadiri rangkaian kegiatan peringatan HUT ke-26 Kutai Timur, Kamis (9/10/2025). Mahyudin menegaskan bahwa persoalan batas administrasi sebaiknya tidak dijadikan polemik berkepanjangan karena sudah diatur jelas dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan perundang-undangan yang berlaku.
“Saya tidak dalam kapasitas untuk membantah atau menyetujui pendapat pemerintah Bontang, tapi saya ingin menjelaskan dari sisi historisnya,” ujar Mahyudin di Gedung DPRD Kutim. “Kalau kita bicara sejarah, dulu wilayah Sangatta itu memang bagian dari Kecamatan Bontang sebelum terjadi pemekaran,” tambahnya.
Menurutnya, penentuan batas wilayah antara Sangatta dan Bontang bermula sejak era sebelum pemekaran kabupaten pada 1999. Kala itu, untuk memudahkan administrasi dan orientasi wilayah, batas kecamatan ditetapkan mengikuti jalur pipa gas yang saat itu menjadi satu-satunya akses terbuka di tengah wilayah hutan.
“Jadi dulu, karena belum ada jalan raya dan masih hutan, ditetapkanlah jalur pipa itu sebagai batas antara Kecamatan Sangatta dan Kecamatan Bontang. Itu awalnya,” jelasnya.
Mahyudin menguraikan, setelah pemekaran Kabupaten Kutai menjadi beberapa wilayah pada tahun 1999, Kutai Timur resmi berdiri dengan lima kecamatan awal, termasuk Kecamatan Sangatta. Sejak saat itu, batas administrasi antara Kutai Timur dan Bontang mengikuti batas kecamatan yang sudah ada sebelumnya.
“Ketika Kutai Timur dibentuk, batas antara Bontang dan Kutai Timur mengikuti batas Kecamatan Bontang dan Sangatta. Jadi dari awal wilayah yang sekarang dipersoalkan itu memang sudah masuk Sangatta,” tegasnya.
Menanggapi klaim sebagian pihak yang menilai pembagian wilayah “tidak jelas” karena hanya melewati jalur pipa, Mahyudin menilai hal itu tidak perlu dibesar-besarkan. Ia memahami bahwa sebagian masyarakat mungkin merasa lebih dekat dengan Bontang secara geografis maupun sosial, tetapi hal itu tidak serta merta mengubah status administratif wilayah.
“Mungkin masyarakat di sana merasa lebih dekat ke Bontang karena aksesnya lebih mudah. Tapi itu bukan alasan untuk mempersoalkan batas wilayah. Orang Bontang boleh tinggal di Kutai Timur, orang Kutai Timur juga bisa bekerja di Bontang. Ini semua masih satu NKRI,” ujarnya menegaskan.
Mahyudin juga mengingatkan agar pemerintah daerah, baik di Kutai Timur maupun Bontang, tidak larut dalam perebutan wilayah, karena pada dasarnya tujuan pemerintahan adalah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, bukan memperluas kekuasaan administratif.
“Pejabat itu tidak ada yang selamanya. Bupati lima tahun, wali kota juga lima tahun. Jadi janganlah kita berebut wilayah seolah ini soal kepemilikan pribadi. Pemerintah itu tugasnya melayani masyarakat. Yang penting pelayanan publiknya berjalan baik,” katanya.
Ia bahkan mengilustrasikan situasi tersebut seperti hubungan antarwilayah di Jawa. “Orang Depok masuk Jawa Barat, tapi kalau mau ke Jakarta ya tidak masalah. Orang Bekasi juga dekat dengan Jakarta, tapi tetap administratifnya Jawa Barat. Jadi jangan sampai soal batas ini malah mengorbankan pelayanan publik,” tutur Mahyudin.
Lebih lanjut, Mahyudin menegaskan bahwa sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Pemekaran, wilayah yang kini disengketakan tersebut secara administratif berada di bawah Kutai Timur. Namun, jika ke depan ada aspirasi masyarakat yang ingin bergabung ke Bontang, hal itu tetap bisa diajukan melalui mekanisme resmi.
“Kalau sekarang keputusan MK sudah jelas, wilayah itu masuk Kutai Timur. Tapi kalau Bontang merasa perlu perluasan wilayah, ya bisa saja diajukan secara resmi melalui gubernur dan kementerian terkait. Tidak perlu gaduh,” ucapnya dengan tegas.
Di akhir wawancara, Mahyudin menekankan pentingnya menjaga harmonisasi dan semangat kebersamaan antara dua daerah bertetangga itu. Ia berharap kedua pemerintah daerah bisa mengutamakan pelayanan publik, bukan memperkeruh suasana dengan klaim sepihak.
“Jangan ribut soal batas. Fokus saja bagaimana masyarakat bisa mendapat pelayanan yang baik, baik dari Kutai Timur maupun Bontang. Karena sejatinya kita semua satu tujuan: membangun daerah dan menyejahterakan rakyat,” pungkas Mahyudin.
Dengan sikap bijak itu, Mahyudin berharap polemik batas wilayah tidak lagi menjadi sumber ketegangan, melainkan momentum untuk memperkuat kerja sama antardaerah demi kemajuan bersama di Kalimantan Timur.